Siswa sebagai subjek pembelajar merupakan individu
dengan berbagai karakteristiknya,sehingga dalam proses pembelajaran terjadi
interaksi timbal balik , baik antara guru dengan siswa maupun antara siswa
dengan siswa.
Teori perkembangan menurut Jean Piaget (Harre dan lamb, 1988). Piaget
lebih mempokuskan kajiannya dalam aspek perkembangan kognitif anak dan
mengelompokkannya dalam 4 tahap, yaitu:
1.
Sensori-motor (0- 2 tahun )
2.
Pra – operasional ( 2- 7 tahun)
3.
Operasional konkret (7- 11 tahun )
4.
Operasi pormal (11 tahun – keatas )
Tingkat sensori – motor
Tahap ini disebut masa
discriminating dan labeling. Pada masa
ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak repleks , bahasa awal, dan ruang
waktu sekarang saja. Tingkat sensori-motor menepatidua tahun pertama dalam
kehidupan . selama periode ini anak mengatur alamnya dengan indra-indranya
(sensori) dan tindakan tindakannya (motor). Selam periode ini bayi tidak
mempunyai konsepsi “ object permanence”. Bila suatu benda disembunyikan , ia
gagal untuk menemukannya . sambil pengalamannya bertambah, sampai mendekati
akhir periode ini, bayi itu menyadari bahwa benda yang disembunyikan itu masih
ada, dan ia mulai mencarinya sesudah dilihatnya benda itu disembunyikan.
1.
Tingkat Pra-Operasional
Pada
tahap pra-operasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan masa
intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas
. kemampuan bahasa mulai berkembang , pemikiran masih statis , belum dapat
berfikir abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih terbatas . tingkat
ini ialah umur antara dua hingga 7 tahun. Periode ini disebut pra-operasional,
karena pada umur ini anak belum mampu melaksanakan operas-operasi mental ,
seperti yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu menambah, mengurangi dan lain
lain.
2.
Tingkat operasional konkret
Tahap
ini juga disebut masa performing operation . pada masaini anak sudah mampu
menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan , memisahkan , menyusun, menderetkan,
melipat, dan membagi. Periode operasional konkret adalah antara umur 7-11 tahun. Tingkat ini merupakan permulaan berfikir
rasional. Ini berarti , anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat
diterapkannya pada masalah-masalah konkret. Bila menghadapi suatu pertentangan
antara pikiran dan persepsi , anak dalam periode operasional konkret memilih
mengambil keputusan logis , dan bukan keputusan perceptual seperti anak pra-
operasional.
3.
Tingkat Operasional Formal
Tahap
inijuga disebut masa proportional thinking . pada masa ini, anak sudah mampu berfikir tingkat tinggi ,
seperti berfikir secara deduktif ,
induktif, menganalisis , mensintesis , mampu berfikir secara abstrak dan secara
reflektif, serta mampu memecahkan berbagai masalah. Pada umur
kira-kira 11 tahun , timbul periode operasi baru.
Anak
usia sekolah dasar berada pada tahap
operasional konkret . pada tahap tersebut anak mulai menunjukkan perilaku
belajar sebagai berikut :
1.
Mulai memandang dunia secara objektif,
bergeser dari satu situasi ke aspek lain secara reflektifdan memandang unsure-unsur secara serentak.
2.
Mulai berfikir secara operasional.
3.
Mempergunakan cara berfikir operasional
untuk mengklasifikasikan benda-benda,
4.
Membentuk dan mempergunakan keterhubungan
aturan-aturan , prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan
sebab akibat, dan
5.
Memahami konsep subtansi , volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan
berat. Sedangkan perkembangan emosi anak usia sekolah dasar antara lain anak
lebih dapat :
1.
Mengekspresikan reaksi terhadap orang
lain,
2.
Mengontrol emosi,
3.
Berpisah dengan orang tua ,
4.
Belajar tentang benar salah.
Kecenderungan
belajar anak usia sekolah dasar memiliki 3 ciri, yaitu : konkrit ,
integrative, dan hirarkis.
2. Teori belajar
Dalam
proses pembelajaran, penguasaan seorang
guru dan cara menyampaikannya merupakan syarat yang sangaat esensial. Sesuai dengan isi lampiran peraturan mentri
pendidikan nasional
(permendiknas)
nomor 16 tahun tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru yang menyebutkan bahwa
penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik menjadi
salah satu unsure kompetensi pedagogic yang harus dimiliki guru. Psikologi
belajar atau disebut dengan teori
belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental)
siswa. Di dalamnya terdiri atas dua hal,
yaitu: (1) uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual anak, (2) uraian
tentang kegiatan intelektual anak mengenai hala-hal yang bisa dipikirkaan pada
usia tertentu. Terdapat dua aliran dalam
psikologi belajar, yakni aliran psikologi tingkah laku (behavioristik) dan aliran psikologi kognitif. Berikut akan disajikan beberapa
teori belajar yang melandasi guru-guru
sekolah dasar dalam merancang , melaksanakan, dan menilai pembelajaran lima
mata pelajaran.
1. Teori belajar vygotsky
Menurut
pandangan konstruktivisme tentang belajar, individu akan menggunakan pengetahuan siap dan pengalaman pribadi yang telah
dimilikinya untuk membantu memahami masalah
atau materi baru. King (1994)
menyatakan bahwa individu dapat membuat inferensi tentang informasi baru,
menarik perspektif dari beberapa aspek pada pengetahuan yang dimilikinya ,
mengelaborasi materi baaru dengan menguraikannya secara rinci , dan
menggeneralisasi hubungan antara materi
baru dengan informasi yang telah ada
pada memori siswa.
Vigotsky
menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstrusi suatu konsep perlu memperhatikan
lingkungan social. Ada dua konsep penting dalam teori vygotsky , yaitu zone
of proximal development (ZPD) dan
scaffolding. Zone of proximal
development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan aktual ( yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri) dan tingkat
perkembangan potensial (yang didefenisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang
lebih mampu). Yang dimaksud dengan orang dewasa adalah guru atau orang tua.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah
bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran , kemudian mengurangi
bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
Berdasarkan
uraian diatas , vygotsky menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang
individu dicapai melalui interaksi social, ada tiga tahap yaitu:
-
Perkembangan actual (tahap I) terjadi
pada saat siswa berusaha sendiri
menyudahi konflik kognitif yang dialaminya.
-
Perkembangan potensial (tahap II) terjadi pada saat siswa berinteraksi dengan
pihak lain dalam komunitas kelas yang memiliki kemampuan lebih, seperti teman
dan guru, atau dengan komunitas lain seperti orang tua.
-
Proses internalisasi (tahap III)
menurut vygotsky merupakan aktifitas mental tingkat tinggi jika terjadi
karena adanya interakri social.
2. Teori belajar Van Hiele
Van
Hiele adalah seorang guru bangsa belanda yang mengadakan penelitian dalam pembelajaran geometri. Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap
pemahaman geometri yaitu: pengenalan ,
analisis , pengurutan , deduksi, dan akurasi.
a)
Tahap Visualisasi (pengenalan)
Pada
tingkat ini,siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan
(holistic). Pada tingkat ini siswa belum memperthatikan komponen-komponen dari
masing-masing bngun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah
mengenal nama sesuatu bangun,siswa belum mengamati cirri-ciri dari bangun itu.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu sutu bangun bernama persegi panjang,tetapi
ia belum menyadari cirri-ciri bangun persegi panjang tersebut.
b)
Tahap Analisis (deskriptif)
Pada
tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri
dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah
terbiasa menganalisis nagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati
sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada
tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang
karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan
semua sudutnya siku-siku”.
c)
Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau
Relasional)
Pada
tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan
ciri yang lain pada suatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah
bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan
sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada
tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada
tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan anatan bangun yang satu
dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah tiba memahami
bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki
cirri-ciri persegipanjang.
d)
Tahap Deduksi
Pada tingkat ini (1) siswa sudah dapat mengambil
kesimpulan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat
khusus,(2) siswa mampu memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-defini,
aksioma-aksioma,dan terorema-terorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai
mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Sebagai contoh, untuk menunjukkan
bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajar genjang adalah 360(derajat)secara deduktif
dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif
yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah
itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau
360(derajat) belum tuntas dan belum tentu tepat. Untuk itu pembuktian secara
deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
e)
Tahap Akurasi (tingkat metamatematis
atau keakuratan)
Pada
tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Sudah memahami mengapa
sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa
betapa pentingnya suatu system deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap
tertinggi dalam memahami geometri.
Menurut
Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin
dapat mengerti atau memahami materi yang berbeda pada tingkat yang lebih tinggi
dari anak tersebut. Adapun fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan
belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu.
Fase-fase pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi; 2) fase orientasi;
3) fase eksplisitasi; 4) fase orientasi bebas; 5) fase integrasi.
3. Teori Belajar Ausubel
Ausubel
(dalam dahar ,1998:137) mengemukakan bahwa belajar bermakna adalah suatu proses
dikaitknnya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Menurut Ausubel (dalam dahar,1998:134), belajar
dapat diklasifikasikan berdasarkan cara menyajikan materi,yaitu: (1) penerimaan
dan (2) penemuan. Sedangkan berdasarkan cara siswa menerima pelajaran yaitu:
(1) belajar bermakna dan (2) belajar hafalan. Berdasarkan penjabaran diatas,
berarti suatu pembelajaran dikatakan bermakna apabila melalui prasyarat
belajar,yaitu:
a.
Materi yang akan dipelajari bermakna
secara potensial. Materi dikatakan bermakna secara potensial apabila materi
tersebut memiliki kebermaknaan secara logis dan gagasan yang relevan harus
terdapat dalam struktur kognitif siswa.
b.
Anak yang akan belajar harus bertujuan
melaksanakan belajar bermakna sehingga mempunyai kesiapan dan niat dalam
belajar bermakna.
Kondisi-kondisi
atau ciri-ciri belajar bermakna sebagai berikut:
a.
Menjelaskan hubungan atau relevasi
bahan-bahan baru dengan bahan-bahan lama.
b.
Lebih dulu diberikan ide yang paling
umum dan kemudian hal-hal yang lebih terperinci.
c.
Menunjukkan persamaan dan perbedaan
anatara bahan baru dengan bahan lama.
d.
Mengusahakan agar ide yang telah ada
dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.
Dalam
bukunya yang berjudul ‘Educational Psychology: A cognitive View’ (1968).
Ausubel mengatakan ‘faktor yang paling penting mempengaruhi siswa belajar
adalah apa yang telah diketahui oleh siswa. Ada beberapa prinsip-prinsip dan
konsep konsep yang perlu kita perhatikan,yaitu:
a.
Pengatur awal
Pengatur
awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari, dan menolong
mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat digunakan
untuk membantu menanamkan pengetahuan baru. Suatu pengatur awal dapat dianggap
sebagai pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru.
b.
Diferensiasi Progresif
Selama
belajar bermakna berlangsung,perlu terjadi pengembangan dan elaborasi konsep.
Pengembangan konsep berlangsung paling baik, bila unsure-unsur yang paling umum
diperkenalkan terlebih dulu, baru kamudian hal-hal yang lebih khusus dan detail
dari konsep tersebut.
c.
Belajar Superordinat
Belajar
superordinat terjadi, bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya
dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas dan inklusif.
d.
Penyesuaian integrative
Dalam
pembelajaran, bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang
diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru
dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Kita harus memperlihatkan secara
eksplisit bagaimana arti-arti baru dihubungkan dan dipertentangkan dengan
arti-arti sebelumnya yang lebih sempit dan bagimana konsep-konsep yang
tingkatnya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.
4. Teori Belajar Bruner
Bruner
(1966) mengemukakan bahwa terdapat tiga sistem keterampilan untuk menyatakan
kemampuan-kemampuan secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang
disebut tiga cara penyajian (modes of presents),yaitu:
a.
Cara penyajian enaktif
Cara
menyajikan enaktif adalah melalui tindakan, anak terlibat secara langsung dalam
memanipulasi (mengotak-atik) objek,sehingga bersifat manipulative. Anak belajar
sesuatu pengetahuan secara aktif,dengan menggunakan benda-benda konkret atau
situasi nyata.
b.
Cara penyajian ikonik
Cara
penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan
melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik, yang dilakukan anak berhubungan
dengan mental, yang merupakan gmbaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap
enaktif. Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir.
c.
Cara penyajikan simbolik
Cara
penyajikan simbolik didasarkan pada sistem berpikir abstrak,arbitrer, dan lebih
fleksibel. Dalam tahap ini anak memanipulasi symbol-simbol atau lambang-lambang
objek tertentu.
Salahsatu
contoh penerapan teori bruner dalam pembelajaran IPA untuk konsep “jenis hewan
berdasarkan penggolongan makanan”, maka tahap pembelajarannya adalah:
1.
Tahap penyajian enaktif, dengan cara
member tugas kepada peserta didik untuk melakukan kegiatan member makan pada
hewan peliharaan dilingkungan rumahnya.
2.
Tahap penyajian ikonik, siswa melakukan
pengamatan (gambar atau poster atau video animasi) tentang berbagai hewan dan
jenis makanannya.
3.
Tahap penyajian simbolik,siswa telah
mampu mengelompokkan jenis hewan berdasarkan penggolongan makanan (kelompok
hewan herbivore,karnivora,dan omnivora).
3. Model –Model Pembelajaran
Pembelajaran berbasis masalah
(problem –based learning)
Pembelajaran
berbasis masalah (problem-based learning) disingkat dengan PBM, mula mula
dikembangkan di sekolah kedokteran . PBM
dikembangkan sebagai respon atas fakta bahwa para peserta didik mengalami
kesulitan di tahun pertama perkuliahan , seperti pada mata kuliah Anatomi ,
Biokimia, dan Fisiologo . pembelajaran berbasis masalah (PBM) adalah
pembelajaran yang menggunakan masalah nyata sehari-hari (otentik) yang bersifat
terbuka (open –ended) untuk diselesaikan oleh peserta didik dalam rangka
mengembangkan ketrampilan berfikir, ketrampilan menyelesaikan masalah ,
ketrampilan social , ketrampilan untuk belajar mandiri, dan membangun atau
memperoleh pengetahuan baru.
Contoh
nyata yang dapat digunakan dalam pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran tematik : kegiatan makan siang bersama adik,
dimana siswa dapat melatih adiknya di rumah dan menunjukkan sikap-sikap baik
terhadap adiknya sesuai dengan yang telah dipelajari dengan santun.
Prinsip-prinsip PBM adalah sebagai berikut :
-
Penggunaan masalah nyata (otentik)
-
Berpusat pada peserta didik
(student-centered)
-
Guru berperan sebagai fasilitator
-
Kolaborasi antar peserta didik
-
Sesuai dengan paham konstruktivisme yang
menekankan peserta didik untuk secara aktif memperoleh pengetahuannya sendiri.
A. Pembelajaran berbasis projek
(project-based learning)
Pembelajaran
berbasis projek (PBP) adalah kegiatan pembelajaran yang menggunakan projek/
kegiatan sebagai proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi sikap ,
pengetahuan dan ketrampilan. Penekanan pembelajaran ini terletak pada
aktifitas-aktifitas peserta didik untuk menghasilkan produk dengan menerapkan
ketrampilan meneliti, menganalisis, membuat, sampai dengan mempresentasikan
produk pembelajaran berdasarkan pengalaman nyata. Produk yang di maksud adalah
hasil projek dalam bentuk desain, skema, karya tulis, karya seni, karya
teknologi / prakarya dan lain-lain.
Pembelajaran berbasis projek merupakan metode pembelajaran yang berfokus pada peserta didik
dalam kegiatan pemecahan masalah terkait dengan projek dan tugas –tugas
bermakna lainnya. Adapun tujuan pembelajaran berbasis projek (PBP) adalah
sebagai berikut:
-
Memperoleh pengetahuan dan ketrampilan baru
dalam pembelajaran
-
Meningkatkan kemampuan peserta didik
dalam pemecahan masalah projek.
-
Membuat peserta didik lebih aktif dalam
memecahkan masalah projek yang kompleks dengan hasil produk nyata berupa barang
atau jasa.
-
Mengembangkan dan meningkatkan
ketrampilan peserta didik dalam mengolah sumber/bahan /alat untuk menyelesaikan
tugas/ projek.
-
Meningkatkan kolaborasi peserta didik
khususnya padaPBP yang bersifat kelompok
Prinsip –prinsip pembelajaran berbasis projek adalah
sebagai berikut:
-
Pembelajaran berpusat pada peserta didik
yang melibatkan tugas-tugas projek pada
kehidupan nyata untuk memperkaya pembelajaran.
-
Tugas projek menekankan pada kegiatan
penelitian berdasarkan suatu tema atau topic yang telah ditentukan dalam
pembelajaran.
-
Tema atau topik yang dibelajarkan dapat
dikembangkan dari suatu kompetensi dasar tertentu atau gabungan beberapa
kompetensi dasar dalam suatu mata pelajaran , atau gabungan beberapa kompetensi
dasar antar mata pelajaran.
-
Penyelidikan atau eksperimen dilakukan
secara otentik dan menghasilkan produk nyata yang telah dianalisis dan
dikembangkan berdasarkan tema/topic yang disusun dalam bentuk produk(laporan
atau hasil karya).
-
Pembelajaran dirancang dalam pertemuan tatap muka dan tugas mandiri
dalam fasilitasi dan monitoring oleh guru.
-
Penerapan pembelajaran berbasis projek
ini mendorong tumbuhnya kreatifitas , kemandirian , tanggung jawab, kepercayaan
diri, serta berpikir kritis dan analitis pada peserta didik.
B. Pembelajaran menemukan (Discovery
learning)
Pembelajaran
menemukan ( discovery learning), adalah pembelajaran untuk menemukan konsep,
makna , dan hubungan kausal melalui pengorganisasian pembelajaran yang
dilakukan oleh peserta didik. Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan
masalah untuk menciptakan , menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan ;
(2) berpusat pada peserta didik; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan
yang sudah ada.
Adapun
karakteristik dari pembelajaran menemukan
(discovery learning):
-
Peran guru sebagai pembimbing
-
Peserta didik belajar secara aktif
sebagai seorang ilmuwan.
-
Bahan ajar disajikan dalam bentuk informasi dan peserta didik melakukan
kegiatan menghimpun , membandingkan ,mengkategorikan , menganalisis,serta
membuat kesimpulan.
5. Evaluasi Hasil Belajar
Berdasarkan
permendikbud no. 23 tahun 2016 tentang Standar penilaian pendidikan adalah
kriteria mengenai lingkup , tujuan , manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur dan
instrumen penilaian hasil belajar
peserta didik pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Penilaian
adalah merupakan pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian
hasil belajar peserta didik. Pembelajaran adalah proses interaksi antar peserta
didik, antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar.
Ulangan
adalah proses yang dilakukan untuk mengukur
pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses
pembelajaran untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.
1.
Penilaian pembelajaran
Aspek
penilaian yang akan dinilai dalam pembelajaran matematika meliputi pemahaman
konsep, melakukan prosedur , representasi, dan penapsiran , penalaran,
pemecahan masalah dan sikap.
-
Penilaian dalam aspek representasi
melibatkan kemampuan untuk menyajikan kembali suatu permasalahan atau obyek
matematika melalui hal-hal berikut: memilih, menafsirkan, menerjemahkan, dan
menggunakan grafik, table, gambar, diagram, rumus, persamaan , maupun benda
konkret untuk memotret permasalahan sehingga menjadi lebih jelas.
-
Penilaian dalam aspek penafsiran
meliputi kemampuan menafsirkan berbagai bentuk penyajian seperti tabel, grafik
, menyusun model matematika dari suatu situasi.
-
Penilaian aspek penalaran dan bukti
meliputi identifikasi contoh dan bukan contoh, menyusun dan memeriksa kebenaran
dugaan, menjelaskan hubungan, membuat generalisasi, menggunakan contoh kontra,
membuat kesimpulan, merencanakan dan mengkonstruksi argumen-argumen matematis, menurunkan atau membuktikan
kebenaran rumus dengan berbagai cara.
-
Penilaian pemecahan masalah dalam
matematika merupakan proses untuk menilai kemampuan menerapkan pengetahuan
matematika yang telah di peroleh sebelumnya kedalam situasi baru yang belum di
kenal.
-
Penilaian diri merupakan teknik
penilaian sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang dilakukan sendiri oleh
peserta secara reflektif.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik di laksanakan
dalam bentuk penilaian autentik dan non-autentik.
Bentuk penilaian autentik mencakup :penilaian
berdasarkan pengamatan, tugas kelapangan, portopolio, projek, produk, jurnal ,
kerja laboratorium, unjuk kerja dan penilaian diri. Bentuk penilaian
non-autentik mencakup : tes , ulangan ,ujian.
2.
Fungsi dan tujuan penilaian hasil
belajar oleh pendidik
Secara
umum , penilaian hasil belajar oleh pendidik dilaksanakan untuk memenuhi fungsi
formatif dan sumatifdalam penilaian. Adapun penilaian hasil belajar berfungsi
untuk :
-
Memantau kemajuan belajar
-
Memantau hasil belajar
-
Mendeteksi kebutuhan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Penilaian hasil belajar oleh pendidik di lakukan
dalam bentuk ulangan , pengamatan, penugasan,
penilaian hasil belajar oleh pendidik di gunakan untuk :
-
Mengukur dan mengetahui pencapaian
kompetensi peserta didik
-
Memperbaiki proses pembelajaran
-
Menyusun laporan kemajuan hasil belajar
harian, tengah semester, akhir semester, akhir tahun, atau kenaikan kelas.
-
A. DESKRIPSI KEMAJUAN SETELAH
PEMBEKALAN/MENTORING :
A. Materi
yang sulit dipahami . uraikan materi menurut anda sulit di pahami dalam bagian
ini.
Materi yang sulit di pahami menurut saya adalah
materi teori belajar. Sebab empat teori
belajar dalam kompetensi pedagogik yang
di sajikan masing-masing memiliki pengertian yang berbeda-beda. Sehingga
membuat saya sulit untuk menentukan teori mana yang sesuai dengan pembelajaran.
B. Materi
esensial apa saja yang tidak ada dalam sumber belajar .uraikan materi yang
menurut anda anggap esensial tetapi tidak di jelaskan dalam bagian ini.
Jawab :
materi
esensial yang tidak di jelaskan dalam sumber belajar ini adalah pembelajaran
kepada anak yang berbeda lingkungannya
tempat tinggalnya, faktor ekonomi , dan
latar belakang keluarganya.
C. Materi
apa saja yang tidak esensial namun ada dalam sumber belajar . uraikan materi
yang menurut anda tidak esensial tetapi
dijelaskan dalam bagian ini.
Jawab :
Materi esensial tentang teori belajar, sebab teori
belajar yang ada dalam sumber belajar terlalu membingungkan bagi saya.